Dinginnya kabut telah
pergi, dan kini berganti dengan senyuman hangat mentari. Kokokan ayam saling
bersahutan memecah sunyinya pagi. Kebahagiaan senantiasa terpancar dari istana
kecil yang dihuni Mbah Ijah, Ibu kandung Rinawati. Rinawati adalah anak bungsu
dari Mbah Ijah. Rinawati pula yang memiliki tempat tinggal di dekat rumah
Ibundanya. Namun karena ini adalah hari Minggu, Rinawati, Sunarta, suami
Rinawati, dan Dinda, malaikat kecil titipan Tuhan untuk Rinawati dan Sunarta
berlibur di rumah Mbah Ijah. Jika Rinawati tidak menginap di rumahnya, Mbah
Ijah hanyalah sebatang kara. Suaminya telah pergi ke alam yang tenang beberapa
tahun yang lalu.
***
Seperti
biasanya, setiap pagi Mbah Ijah selalu menyapu halaman istananya. Dengan
langkahnya yang sudah tidak tegap lagi, meter demi meter Mbah Ijah bersihkan
dengan sabar.
“Mbah,
Dinda boleh ya metik bunga ini? Bunganya bagus, Mbah. Dinda suka.”, sapa Dinda
yang mengagetkan Mbah Ijah.
“Iya,
Sayang. Dinda bawa pulang ke rumah Dinda juga boleh kok. Anggep aja
kenang-kenangan dari Nenek.”, sambung Mbah Ijah seraya mengusap rambut cucu
cantiknya yang mulai beranjak dewasa.
“Buat
Dinda, Mbah?”, tanya Dinda dengan girangnya.
“Iya,
Dinda.”, jawab Mbah Ijah yang kemudian dipeluk oleh cucunya.
Mbah
Ijah merasa bahagia karena diusia senjanya dia masih diberi kesempatan untuk
merasakan kehangatan keluarganya.
“Ibu,
Dinda, ayo masuk! Kita sarapan bareng!”, panggil Rinawati dari pintu yang tak
begitu jauh dari tempat Mbah Ijah dan Dinda mengobrol.
“Iya,
Mama. Ayo, Nek! Kita makan sama-sama!”, kata Dinda yang melepaskan pelukannya
lalu menggandeng tangan Neneknya yang telah berkeriput itu.
***
“Lihat
nih, Dinda! Mama masakin makanan kesukaan kamu. Taraaa…”, seru Rinawati sembari
membuka tudung saji. Waaaaw, kepiting asam manis dan beberapa udang goreng pun
muncul dan menggoda seisi rumah dengan aromanya yang sangat nikmat.
“Waaa
kepiting, Ma? Pasti enak masakan, Mama.”, kata Dinda. Dengan cekatan Dinda
mengambil piring, nasi, dan masakan Rinawati lalu melahapnya.
Mbah
Ijah tersenyum melihat kegembiraan Dinda. Namun disisi lain, Mbah Ijah juga
merasa sedih karena kebersamaan seperti ini tidak dapat ia rasakan setiap hari.
Mbah Ijah pun teringat ketika Rinawati dan saudaranya masih kecil, suami Mbah
Ijah masih ada. Betapa ramainya rumah Mbah Ijah dulu. Namun Mbah Ijah tetap
tabah karena menurutnya hidup itu sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.
Selesai
sarapan pagi bersama, Rinawati, Sunarta, dan Dinda mandi bergantian. Mereka
juga bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Rinawati sibuk mengemasi
barang-barangnya. Sunarta pun telah memanaskan mesin mobil sedan miliknya. Itu
pertanda sebentar lagi mereka akan segera pergi.
***
“Bu,
Rinawati pulang dulu ya. Jaga diri Ibu baik-baik!”, pamit Rinawati kepada Mbah
Ijah.
“Iya,
Nak. Hati-hati di jalan! Dinda jangan nakal ya! Harus nurut sama Mama Papa
kamu!”, pesan Mbah Ijah kepada cucunya.
“Daaaaaaa
Nek…”, kata Dinda melambaikan tangannya seraya berlalu dari hadapan Mbah Ijah.
Mbah Ijah hanya membalasnya dengan senyuman.
Setelah
mereka tidak tampak dari hadapannya, Mbah Ijah masuk untuk membereskan
piring-piring yang tadi digunakan untuk sarapan. Tepat pukul 10.00 pagi ketika
Mbah Ijah menengok jam dinding tua yang menggantung di dinding dapurnya.
Selesai mencuci piring, Mbah Ijah duduk didekat jendela dapur. Maklum saja,
Mbah Ijah yang sudah perkasa untuk bekerja ini seusai beraktifitas ia duduk-duduk
untuk sekedar beristirahat sebentar. Ia memandangi halaman bekalang rumahnya
yang cukup luas. Banyak bunga-bunga yang selalu ia rawat. Cukup untuk
memberikan pemandangan dan menghibur hati Mbah Ijah yang sepi.
***
Allahuakbar
allahuakbar… Suara adzan dzuhur telah berkumandang. Mbah Ijah segera mengambil
air wudhu dan mukena lalu bergegas berangkat ke masjid. Mbah Ijah termasuk
salah satu warga yang tekun beribadah sholat berjamaah di masjid.
“Assalamualaikum.
Mau berangkat ke masjid, Bu?”, sapa tetangga Mbah Ijah, Ibu Ratri dengan
ramahnya.
“Waalaikumsalam.
Iya, Bu. Mari berangkat bersama!”, ajak Mbah Ijah.
“Rinawati
sudah pulang ya, Bu?”, sambung tetangga Mbah Ijah.
“Sudah,
Bu. Tadi pagi dia pulang.”, jawab Mbah Ijah singkat.
“Sendiri
lagi ya, Bu. Sabar ya, Bu Ijah. Nanti kalau ada apa-apa dating saja ke rumah
saya. Jika saya bisa membantu, pasti akan saya bantu kok, Bu.”, sahut tetangga
Mbah Ijah dengan ramah dan perhatiannya.
Mbah
Ijah hanya membalasnya dengan senyuman. Karena ia tidak ingin merepotkan orang
lain. Tak lama, sampailah mereka di masjid yang tidak jauh dari rumah Mbah
Ijah. Mbah Ijha dan tetangganya segera masuk masuk ke masjid untuk melaksanakan
sholat.
***
“Assalamualaikum.”,
kata Mbah Ijah di warung soto dekat masjid. Mbah Ijah memang sering membeli
soto disini. Jaraknya dekat, harganya murah, dan rasanya yang enaklah membuat
Mbah Ijah jatuh hati pada soto tetangganya.
“Waalaikumsalam,
Bu Ijah. Soto ya, Bu?”, tanya si penjual soto krpada pelanggannya.
“Iya,
Bu. 3 ribu saja seperti biasanya.”, jawab Mbah Ijah singkat. Ya, Mbah Ijah
hanya sendirian. Jadi 3 ribu saja sudah lebih dari cukup untuknya. Beberapa
menit berlalu, soto pesanan Mbah Ijah pun jadi.
“Ini,
Bu sotonya.”, penjual soto menyerahkan soto kepada Mbah Ijah.
“Terimakasih,
Bu.”, kata Mbah Ijah sambil memberikan uang 3 lembar uang kusut seribuan. Mbah
Ijah pun segera menuju ke rumah.
Sesampai
di rumah, Mbah Ijah segera menyantap soto yang telah dibelinya sebelum
dingin. Mbah Ijah bersyukur karena ia
masih bisa menikmati bagaimana rasa soto tetangganya. Selesai makan, Mbah Ijah
mencuci piringnya. Rasa kantuk pun menghampiri Mbah Ijah. Ia mempercepat
pencucian piringnya. Lalu ia menuju ke kamar untuk beristirahat sejenak. Mbah
Ijah beristirahat
dengan tenangnya.
Tak
terasa, adzan berkumandang dan membangunkan Mbah Ijah. Namun, Mbah Ijah merasa
tidak enak badan. Pusing bersinggah di kepala Mbah Ijah. Bumi yang tenang
berubah menjadi bumi yang bergoyang ke kanan dank e kiri. Mbah Ijah memutuskan
untuk tidak berjamaah di masjid. Mbah Ijah tetap berusaha bangun untuk
mengambil air wudhu. Ia berpegangan dengan tembok untuk menuju ke kamar mandi
dan tempat wudhunya.
***
Seusai
sholat magrib, badan Mbah Ijah masih tidak enak. Kepala pun masih pusing. Mbah
Ijah memutuskan untuk pergi ke puskesmas besok pagi. Berharap tubuhnya sanggup
bersepeda sampai ke puskesmas. Ia hanya berbaring di kamar menanti adzan isya’.
Ketika adzan isya’ berkumandang, Mbah Ijah segera sholat. Agar ia bisa tidur
lebih awal agar badannya segar kembali.
***
Pagi
itu, sebelum berangkat ke puskesmas, Mbah Ijah sedang mencuci baju. Badannya
terasa dingin dan lemas. Dengan sekuat tenaga Mbah Ijah berusaha menyelesaikan
cuciaanya. Ia semakin lemah. Ia pun sudah tidak kuat untuk memeras baju
cuciaanya. Namun ia berusaha untuk berdiri dan menjemur pakaiannya. Tempat
jemuran ini di dalam pagar bumi rumah Mbah Ijah.
Ketika
ia menjemur pakaiannya. Bumi yang ia pijak kembali berkuncang. Kepalanya terasa
sangat sakit. Ia baru saja meletakkan satu jemurannya di tampar jemurannya.
Belum sempat ia menjemur pakaiannya, ia terjatuh ditanah . Kepalanya terbentur
batu yang tak jauh dari jemurannya. Mbah Ijah merasakan sakit yang sangat
dahsyatnya. Kakinya terasa dingin, kaku. Ia hanya bisa membaca syahadat dan
istigfar sebanyak mungkin. Mbah Ijah memegangi kepelanya dan terus mengucapkan
syahadat.
“Lailahaillallah….”,
sebuah kata terakhir dari Mbah Ijah. Mbah Ijah meninggal tepat di tempat
jemuran belakang rumahnya. Tak ada orang yang tahu kejadian ini.
***
Satu
minggu setelah kematian Mbah Ijah berlalu. Warga mulai curiga karena seminggu
tidak melihat Mbah Ijah pergi ke masjid atau pun membeli soto. Ketika itu, Bu
Ratri mengecek rumah Mbah Ijah. Semua pintu rumah terkunci. Ketika ia berjalan
mengelilingi pagar bumi rumah Mbah Ijah, ia mendapati bau bangkai yang sangat
menyengat. Ia pun segera mengambil
langkah seribu untuk mengabarkan kepada warga yang lain.
“Pak,
pak, tadi saya mengelilingi pagar bumi rumah Mbah Ijah. Saya mencium bau bangkai,
Pak.”, kata Bu Ratri kepada suaminya dengan sangat panik.
Ia
dan suaminya langsung bergegas menuju rumah Mbah Ijah. Ia berkeliling lagi
untuk mencara dari mana asal bangkai tersebut. Tiga puluh menit mereka berdua
mencari. Namun tidak ketemu. Mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka terus
mencari, mencari, dan mencari. Akhirnya usaha mereka tidak sia-sia.
“Pak,
ada tikus mati disini. Ini yang menyebabkan bau busuk itu.”, kata Bu Ratri
setelah menemukan bangkai tikus dip agar bumi rumah Mbah Ijah.
Ia
dan suaminya akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah.
***
Sore
itu, setelah kemarin menemukan bangkai tikus, penjual soto yang lewat di dekat
rumah Mbah Ijah sepulang dari memesan ayam untuk berjualan sotonya mencium bau
busuk yang serupa. Ia Bergegas menuju rumah Bu Ratri.
“Assalamualaikum,
Bu Ratri. Bu Ratri, Bu Ratri…”, teriak si penjual soto sambil menyandarkan
sepeda bututnya di halaman rumah Bu Ratri.
“Waalaikumsalam.
Masya Allah. Kenapa, Bu? Ada apa?”, tanya Bu Ratri dengan sangat herannya.
“Anu,
Bu. Saya tadi lewat dekat rumah Mbah Ijah. Saya mencium bau busuk, Bu.
Jangan-jangan…”, kata penjual soto yang belum sempat terselaikan. Tangan si
penjual soto langsung Bu Ratri tarik menuju rumah Mbah Ijah.
“Dimana
Ibu mencium baunya, Bu?”, tanya Bu Ratri dengan sangat khawatir.
“Disana,
Bu. Ayo cepat kita kesana!”, ajak penjual soto. Mereka bergegas menuju dimana
penjual soto mencium bau busuk itu. Sama seperti kejadian awal. Mereka tidak
lantas menemukan bau tersebut. Mereka masih harus mencari dan mencari. Hingga
akhirnya mereka menemukan bangkai ayam yang telah berbelatung. Sungguh
mengerikan dan menjijikkan. Akhirnya mereka pun membuang bangkai ayam tersebut.
***
Pagi
hari, bau busuk kembali tercium. Bu Ratri sudah mulai resah. Sudah seminggu
Mbah Ijah tidak tampak dari rumahnya. Padahal Mbah Ijah biasanya ke masjid dan
sering membeli soto. Bu Ratri berinisiatif untuk mengumpulkan warga dan mencari
sumber bau tersebut.
Ketika
sampai di rumah Mbah Ijah, banyak lalat yang berterbangan masuk melalui pintu
belakang. Bu Ratri dan para warga mengikuti lalat itu terbang. Ternyata pintu
belakang rumah Mbah Ijah tidak terkunci, hanya dikancingkan biasa. Mereka pun
mendobrak pintu itu. Mereka melihat Mbah Ijah terbaring di tanah didekat
jemuran baju. Bergegaslah Bu Ratri mendekati Mbah Ijah. Betapa kagetnya Bu
Ratri melihat Mbah Ijah telah tiada. Diperparah dengan keadaan yang telah
membusuk. Jemari Mbah Ijah sampai putus dimakan oleh organisme-organisme kecil
sejak beberapa hari yang lalu.
“Astofirullahhaladzim…”,
kata Bu Ratri menutup mulutnya dan menangisi Mbah Ijah. Betapa malang Mbah
Ijah, padahal Mbah Ijah adalah orang yang baik. Para warga hanya diam dan
menutupi hidung mereka karena tidak tahan dengan bau busuk dari jazad Mbah Ijah
yang telah membusuk.
Bu
Ratri bangkit dan berusaha menelepon Rinawati. Namun nomer HP Rinawati sukar di
hubungi. Minggu kemarin juga Rinawati tidak menginap di rumah Mbah Ijah seperti
biasanya. Bu Ratri masih terus mencoba menghubungi. Setelah beberapa kali
gagal, akhirnya tersambung.
“Rin,
Rinawati. Cepetlah pulang ke rumah Ibumu, Nak. Cepatlah kesini!”, kata Bu Ratri
ketika menelepon Rinawati. Disamping itu, para warga sedang membereskan rumah
Mbah Ijah untuk persiapan upacara pemakaman. Namun, tidak ada yang berani
mengangkat jenazah Mbah Ijah.
Sekitar
setengah jam setelah Bu Ratri menelepon Rinawati, Rinawati pun tiba di rumah
Ibunya. Rinawati heran dengan keadaan ramai di rumah Mbah Ijah.
“Bu
Ratri, ada apa ini, Bu? Ada apa? Ibu mana, Bu? Ibu mana?”, tanya Rinawati penuh
ke khawatiran. Bu Ratri tidak menjawab. Bu Ratri hanya diam dan mengajak
Rinawati ke tempat menjemur baju. “Bau busuk apa ini, Bu? Menjijikan sekali,
Bu.”, lanjut Rinawati. Bu Ratri terus menarik tangan Rinawati menuju tempat
jemuran baju. Sesampai di tempat jemuran baju, Bu Ratri hanya menujukkan jazad
Mbah Ijah.
“Ibu…It..
Itu Ibu, Bu Ratri?”, tanya Rinawati dengan perasaan tidak karuhan dan
terbata-bata.
Rinawati berlari mendekati
jenazah Mbah Ijah. Rinawati tak kuasa menahan air matanya.
“Rin,
mandikanlah Ibumu!”, seru Bu Ratri dari belakang sambil memegang pundak
Rinawati.
Rinawati hanya menggelengkan
kepala. Ia tidak sanggup mencium bau busuk dari jenazah Ibunya. Rinawati
berlari dan menuju ruang tengah untuk menelepon TIM SARS. Perasaannya bercampur
bawur. Ia sedih dan menyesal karena kemarin Minggu ia tidak menginap di rumah
Ibunya. Rinawati ingin memandikan Ibunya untuk yang terakhir kali. Namun
Rinawati tidak sanggup mencium bau.
“Ibuuu…
Maafkan aku…”, hanya itu yang diucapkan Rinawati ketika TIM SARS mengurus
jenazah Mbah Ijah dan mempersiapkan pemakamannya.
TAMAT