Rabu, 23 Oktober 2013

Ibu, maafkan aku…


 
                Dinginnya kabut telah pergi, dan kini berganti dengan senyuman hangat mentari. Kokokan ayam saling bersahutan memecah sunyinya pagi. Kebahagiaan senantiasa terpancar dari istana kecil yang dihuni Mbah Ijah, Ibu kandung Rinawati. Rinawati adalah anak bungsu dari Mbah Ijah. Rinawati pula yang memiliki tempat tinggal di dekat rumah Ibundanya. Namun karena ini adalah hari Minggu, Rinawati, Sunarta, suami Rinawati, dan Dinda, malaikat kecil titipan Tuhan untuk Rinawati dan Sunarta berlibur di rumah Mbah Ijah. Jika Rinawati tidak menginap di rumahnya, Mbah Ijah hanyalah sebatang kara. Suaminya telah pergi ke alam yang tenang beberapa tahun yang lalu.
***
            Seperti biasanya, setiap pagi Mbah Ijah selalu menyapu halaman istananya. Dengan langkahnya yang sudah tidak tegap lagi, meter demi meter Mbah Ijah bersihkan dengan sabar.
            “Mbah, Dinda boleh ya metik bunga ini? Bunganya bagus, Mbah. Dinda suka.”, sapa Dinda yang mengagetkan Mbah Ijah.
            “Iya, Sayang. Dinda bawa pulang ke rumah Dinda juga boleh kok. Anggep aja kenang-kenangan dari Nenek.”, sambung Mbah Ijah seraya mengusap rambut cucu cantiknya yang mulai beranjak dewasa.
            “Buat Dinda, Mbah?”, tanya Dinda dengan girangnya.
            “Iya, Dinda.”, jawab Mbah Ijah yang kemudian dipeluk oleh cucunya.
            Mbah Ijah merasa bahagia karena diusia senjanya dia masih diberi kesempatan untuk merasakan kehangatan keluarganya.
            “Ibu, Dinda, ayo masuk! Kita sarapan bareng!”, panggil Rinawati dari pintu yang tak begitu jauh dari tempat Mbah Ijah dan Dinda mengobrol.
            “Iya, Mama. Ayo, Nek! Kita makan sama-sama!”, kata Dinda yang melepaskan pelukannya lalu menggandeng tangan Neneknya yang telah berkeriput itu.
***
            “Lihat nih, Dinda! Mama masakin makanan kesukaan kamu. Taraaa…”, seru Rinawati sembari membuka tudung saji. Waaaaw, kepiting asam manis dan beberapa udang goreng pun muncul dan menggoda seisi rumah dengan aromanya yang sangat nikmat.
            “Waaa kepiting, Ma? Pasti enak masakan, Mama.”, kata Dinda. Dengan cekatan Dinda mengambil piring, nasi, dan masakan Rinawati lalu melahapnya.
            Mbah Ijah tersenyum melihat kegembiraan Dinda. Namun disisi lain, Mbah Ijah juga merasa sedih karena kebersamaan seperti ini tidak dapat ia rasakan setiap hari. Mbah Ijah pun teringat ketika Rinawati dan saudaranya masih kecil, suami Mbah Ijah masih ada. Betapa ramainya rumah Mbah Ijah dulu. Namun Mbah Ijah tetap tabah karena menurutnya hidup itu sudah diatur oleh yang Maha Kuasa.
            Selesai sarapan pagi bersama, Rinawati, Sunarta, dan Dinda mandi bergantian. Mereka juga bersiap-siap untuk pulang ke rumah. Rinawati sibuk mengemasi barang-barangnya. Sunarta pun telah memanaskan mesin mobil sedan miliknya. Itu pertanda sebentar lagi mereka akan segera pergi.
***
            “Bu, Rinawati pulang dulu ya. Jaga diri Ibu baik-baik!”, pamit Rinawati kepada Mbah Ijah.
            “Iya, Nak. Hati-hati di jalan! Dinda jangan nakal ya! Harus nurut sama Mama Papa kamu!”, pesan Mbah Ijah kepada cucunya.
            “Daaaaaaa Nek…”, kata Dinda melambaikan tangannya seraya berlalu dari hadapan Mbah Ijah. Mbah Ijah hanya membalasnya dengan senyuman.
            Setelah mereka tidak tampak dari hadapannya, Mbah Ijah masuk untuk membereskan piring-piring yang tadi digunakan untuk sarapan. Tepat pukul 10.00 pagi ketika Mbah Ijah menengok jam dinding tua yang menggantung di dinding dapurnya. Selesai mencuci piring, Mbah Ijah duduk didekat jendela dapur. Maklum saja, Mbah Ijah yang sudah perkasa untuk bekerja ini seusai beraktifitas ia duduk-duduk untuk sekedar beristirahat sebentar. Ia memandangi halaman bekalang rumahnya yang cukup luas. Banyak bunga-bunga yang selalu ia rawat. Cukup untuk memberikan pemandangan dan menghibur hati Mbah Ijah yang sepi.
***
            Allahuakbar allahuakbar… Suara adzan dzuhur telah berkumandang. Mbah Ijah segera mengambil air wudhu dan mukena lalu bergegas berangkat ke masjid. Mbah Ijah termasuk salah satu warga yang tekun beribadah sholat berjamaah di masjid.
            “Assalamualaikum. Mau berangkat ke masjid, Bu?”, sapa tetangga Mbah Ijah, Ibu Ratri dengan ramahnya.
            “Waalaikumsalam. Iya, Bu. Mari berangkat bersama!”, ajak Mbah Ijah.
            “Rinawati sudah pulang ya, Bu?”, sambung tetangga Mbah Ijah.
            “Sudah, Bu. Tadi pagi dia pulang.”, jawab Mbah Ijah singkat.
            “Sendiri lagi ya, Bu. Sabar ya, Bu Ijah. Nanti kalau ada apa-apa dating saja ke rumah saya. Jika saya bisa membantu, pasti akan saya bantu kok, Bu.”, sahut tetangga Mbah Ijah dengan ramah dan perhatiannya.
            Mbah Ijah hanya membalasnya dengan senyuman. Karena ia tidak ingin merepotkan orang lain. Tak lama, sampailah mereka di masjid yang tidak jauh dari rumah Mbah Ijah. Mbah Ijha dan tetangganya segera masuk masuk ke masjid untuk melaksanakan sholat.
***
            “Assalamualaikum.”, kata Mbah Ijah di warung soto dekat masjid. Mbah Ijah memang sering membeli soto disini. Jaraknya dekat, harganya murah, dan rasanya yang enaklah membuat Mbah Ijah jatuh hati pada soto tetangganya.
            “Waalaikumsalam, Bu Ijah. Soto ya, Bu?”, tanya si penjual soto krpada pelanggannya.
            “Iya, Bu. 3 ribu saja seperti biasanya.”, jawab Mbah Ijah singkat. Ya, Mbah Ijah hanya sendirian. Jadi 3 ribu saja sudah lebih dari cukup untuknya. Beberapa menit berlalu, soto pesanan Mbah Ijah pun jadi.
            “Ini, Bu sotonya.”, penjual soto menyerahkan soto kepada Mbah Ijah.
            “Terimakasih, Bu.”, kata Mbah Ijah sambil memberikan uang 3 lembar uang kusut seribuan. Mbah Ijah pun segera menuju ke rumah.
            Sesampai di rumah, Mbah Ijah segera menyantap soto yang telah dibelinya sebelum dingin.  Mbah Ijah bersyukur karena ia masih bisa menikmati bagaimana rasa soto tetangganya. Selesai makan, Mbah Ijah mencuci piringnya. Rasa kantuk pun menghampiri Mbah Ijah. Ia mempercepat pencucian piringnya. Lalu ia menuju ke kamar untuk beristirahat sejenak. Mbah Ijah beristirahat
 dengan tenangnya.
Tak terasa, adzan berkumandang dan membangunkan Mbah Ijah. Namun, Mbah Ijah merasa tidak enak badan. Pusing bersinggah di kepala Mbah Ijah. Bumi yang tenang berubah menjadi bumi yang bergoyang ke kanan dank e kiri. Mbah Ijah memutuskan untuk tidak berjamaah di masjid. Mbah Ijah tetap berusaha bangun untuk mengambil air wudhu. Ia berpegangan dengan tembok untuk menuju ke kamar mandi dan tempat wudhunya.
***
            Seusai sholat magrib, badan Mbah Ijah masih tidak enak. Kepala pun masih pusing. Mbah Ijah memutuskan untuk pergi ke puskesmas besok pagi. Berharap tubuhnya sanggup bersepeda sampai ke puskesmas. Ia hanya berbaring di kamar menanti adzan isya’. Ketika adzan isya’ berkumandang, Mbah Ijah segera sholat. Agar ia bisa tidur lebih awal agar badannya segar kembali.
***
            Pagi itu, sebelum berangkat ke puskesmas, Mbah Ijah sedang mencuci baju. Badannya terasa dingin dan lemas. Dengan sekuat tenaga Mbah Ijah berusaha menyelesaikan cuciaanya. Ia semakin lemah. Ia pun sudah tidak kuat untuk memeras baju cuciaanya. Namun ia berusaha untuk berdiri dan menjemur pakaiannya. Tempat jemuran ini di dalam pagar bumi rumah Mbah Ijah.
            Ketika ia menjemur pakaiannya. Bumi yang ia pijak kembali berkuncang. Kepalanya terasa sangat sakit. Ia baru saja meletakkan satu jemurannya di tampar jemurannya. Belum sempat ia menjemur pakaiannya, ia terjatuh ditanah . Kepalanya terbentur batu yang tak jauh dari jemurannya. Mbah Ijah merasakan sakit yang sangat dahsyatnya. Kakinya terasa dingin, kaku. Ia hanya bisa membaca syahadat dan istigfar sebanyak mungkin. Mbah Ijah memegangi kepelanya dan terus mengucapkan syahadat.
            “Lailahaillallah….”, sebuah kata terakhir dari Mbah Ijah. Mbah Ijah meninggal tepat di tempat jemuran belakang rumahnya. Tak ada orang yang tahu kejadian ini.
***
            Satu minggu setelah kematian Mbah Ijah berlalu. Warga mulai curiga karena seminggu tidak melihat Mbah Ijah pergi ke masjid atau pun membeli soto. Ketika itu, Bu Ratri mengecek rumah Mbah Ijah. Semua pintu rumah terkunci. Ketika ia berjalan mengelilingi pagar bumi rumah Mbah Ijah, ia mendapati bau bangkai yang sangat menyengat.  Ia pun segera mengambil langkah seribu untuk mengabarkan kepada warga yang lain.
            “Pak, pak, tadi saya mengelilingi pagar bumi rumah Mbah Ijah. Saya mencium bau bangkai, Pak.”, kata Bu Ratri kepada suaminya dengan sangat panik.
            Ia dan suaminya langsung bergegas menuju rumah Mbah Ijah. Ia berkeliling lagi untuk mencara dari mana asal bangkai tersebut. Tiga puluh menit mereka berdua mencari. Namun tidak ketemu. Mereka tidak menyerah begitu saja. Mereka terus mencari, mencari, dan mencari. Akhirnya usaha mereka tidak sia-sia.
            “Pak, ada tikus mati disini. Ini yang menyebabkan bau busuk itu.”, kata Bu Ratri setelah menemukan bangkai tikus dip agar bumi rumah Mbah Ijah.
            Ia dan suaminya akhirnya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah.
***
            Sore itu, setelah kemarin menemukan bangkai tikus, penjual soto yang lewat di dekat rumah Mbah Ijah sepulang dari memesan ayam untuk berjualan sotonya mencium bau busuk yang serupa. Ia Bergegas menuju rumah Bu Ratri.
            “Assalamualaikum, Bu Ratri. Bu Ratri, Bu Ratri…”, teriak si penjual soto sambil menyandarkan sepeda bututnya di halaman rumah Bu Ratri.
            “Waalaikumsalam. Masya Allah. Kenapa, Bu? Ada apa?”, tanya Bu Ratri dengan sangat herannya.
            “Anu, Bu. Saya tadi lewat dekat rumah Mbah Ijah. Saya mencium bau busuk, Bu. Jangan-jangan…”, kata penjual soto yang belum sempat terselaikan. Tangan si penjual soto langsung Bu Ratri tarik menuju rumah Mbah Ijah.
            “Dimana Ibu mencium baunya, Bu?”, tanya Bu Ratri dengan sangat khawatir.
            “Disana, Bu. Ayo cepat kita kesana!”, ajak penjual soto. Mereka bergegas menuju dimana penjual soto mencium bau busuk itu. Sama seperti kejadian awal. Mereka tidak lantas menemukan bau tersebut. Mereka masih harus mencari dan mencari. Hingga akhirnya mereka menemukan bangkai ayam yang telah berbelatung. Sungguh mengerikan dan menjijikkan. Akhirnya mereka pun membuang bangkai ayam tersebut.
***
            Pagi hari, bau busuk kembali tercium. Bu Ratri sudah mulai resah. Sudah seminggu Mbah Ijah tidak tampak dari rumahnya. Padahal Mbah Ijah biasanya ke masjid dan sering membeli soto. Bu Ratri berinisiatif untuk mengumpulkan warga dan mencari sumber bau tersebut.
            Ketika sampai di rumah Mbah Ijah, banyak lalat yang berterbangan masuk melalui pintu belakang. Bu Ratri dan para warga mengikuti lalat itu terbang. Ternyata pintu belakang rumah Mbah Ijah tidak terkunci, hanya dikancingkan biasa. Mereka pun mendobrak pintu itu. Mereka melihat Mbah Ijah terbaring di tanah didekat jemuran baju. Bergegaslah Bu Ratri mendekati Mbah Ijah. Betapa kagetnya Bu Ratri melihat Mbah Ijah telah tiada. Diperparah dengan keadaan yang telah membusuk. Jemari Mbah Ijah sampai putus dimakan oleh organisme-organisme kecil sejak beberapa hari yang lalu.
            “Astofirullahhaladzim…”, kata Bu Ratri menutup mulutnya dan menangisi Mbah Ijah. Betapa malang Mbah Ijah, padahal Mbah Ijah adalah orang yang baik. Para warga hanya diam dan menutupi hidung mereka karena tidak tahan dengan bau busuk dari jazad Mbah Ijah yang telah membusuk.
            Bu Ratri bangkit dan berusaha menelepon Rinawati. Namun nomer HP Rinawati sukar di hubungi. Minggu kemarin juga Rinawati tidak menginap di rumah Mbah Ijah seperti biasanya. Bu Ratri masih terus mencoba menghubungi. Setelah beberapa kali gagal, akhirnya tersambung.
            “Rin, Rinawati. Cepetlah pulang ke rumah Ibumu, Nak. Cepatlah kesini!”, kata Bu Ratri ketika menelepon Rinawati. Disamping itu, para warga sedang membereskan rumah Mbah Ijah untuk persiapan upacara pemakaman. Namun, tidak ada yang berani mengangkat jenazah Mbah Ijah.
            Sekitar setengah jam setelah Bu Ratri menelepon Rinawati, Rinawati pun tiba di rumah Ibunya. Rinawati heran dengan keadaan ramai di rumah Mbah Ijah.
            “Bu Ratri, ada apa ini, Bu? Ada apa? Ibu mana, Bu? Ibu mana?”, tanya Rinawati penuh ke khawatiran. Bu Ratri tidak menjawab. Bu Ratri hanya diam dan mengajak Rinawati ke tempat menjemur baju. “Bau busuk apa ini, Bu? Menjijikan sekali, Bu.”, lanjut Rinawati. Bu Ratri terus menarik tangan Rinawati menuju tempat jemuran baju. Sesampai di tempat jemuran baju, Bu Ratri hanya menujukkan jazad Mbah Ijah.
            “Ibu…It.. Itu Ibu, Bu Ratri?”, tanya Rinawati dengan perasaan tidak karuhan dan terbata-bata.
Rinawati berlari mendekati jenazah Mbah Ijah. Rinawati tak kuasa menahan air matanya.
            “Rin, mandikanlah Ibumu!”, seru Bu Ratri dari belakang sambil memegang pundak Rinawati.
Rinawati hanya menggelengkan kepala. Ia tidak sanggup mencium bau busuk dari jenazah Ibunya. Rinawati berlari dan menuju ruang tengah untuk menelepon TIM SARS. Perasaannya bercampur bawur. Ia sedih dan menyesal karena kemarin Minggu ia tidak menginap di rumah Ibunya. Rinawati ingin memandikan Ibunya untuk yang terakhir kali. Namun Rinawati tidak sanggup mencium bau.
            “Ibuuu… Maafkan aku…”, hanya itu yang diucapkan Rinawati ketika TIM SARS mengurus jenazah Mbah Ijah dan mempersiapkan pemakamannya.
 
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar